ZM (beritajatim.com)
- Rabu, 6 Maret 2013, seorang warga Gresik beratribut Bonek tewas
dikeroyok segerombolan Aremania yang hendak menyaksikan pertandingan
Arema melawan Gresik United di Stadion Petrokimia.
Keluarga korban tidak menuntut balas dan mengikhlaskan kematian sang
anak yang masih belia. Namun mereka menuntut kepolisian mengusut
kejadian itu, dan menangkap pelaku pembunuhan.
Senin, 15 April
2013, Andi Peci, salah seorang Bonek asal Manukan, Surabaya, dibacok
oleh segerombolan orang tak dikenal. Sebelum aksi pembacokan, Peci
sempat memimpin aksi unjuk rasa ribuan Bonek di depan kantor walikota,
dan menuntut perlakuan adil dari PSSI terhadap Persebaya Surabaya. Peci
meminta kepada polisi agar segera menangkap pelaku pembacokan.
Kita
tidak tahu seberapa keras aparat kepolisian bekerja. Namun dua kasus di
atas, yang terkait dengan Bonek, memiliki kesamaan: belum terusut
tuntas. Kita belum mendengar ada pelaku pembunuhan di Gresik dan
pembacokan di Surabaya yang berhasil ditangkap. Kalangan Bonek di
sejumlah laman fans page pun menilai, polisi memiliki standar ganda
dalam bekerja.
Tudingan adanya standar ganda dalam bekerja
bukannya tanpa alasan. Saat ada yang Bonek melakukan tindakan kriminal,
polisi bertindak cepat menangani. Pembunuh suporter Lamongan yang
melakukan 'sweeping' terhadap Bonek beberapa tahun lalu bisa dibekuk
dengan cepat dan diadili. Begitu juga saat terjadi tindakan kriminal
lainnya dengan pelaku Bonek, polisi bergerak tangkas dan akas.
Standar
ganda aparat kepolisian juga ditunjukkan dalam pemberian izin laga
pertandingan untuk Persebaya. Kepolisian Surabaya melarang Persebaya
bertanding dengan penonton. Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya
Komisaris Besar Tri Maryanto hanya mengatakan, situasi belum kondusif.
Tidak jelas juga, bagaimana parameter situasi dikatakan kondusif dan
tidak kondusif versi polisi.
Jika parameternya adalah potensi
amuk suporter, tiga kali aksi unjuk rasa damai ribuan Bonek dengan isu
sensitif sudah menunjukkan tidak terbuktinya kekhawatiran polisi. Jika
acuannya adalah laga kandang Persebaya di Liga Primer Indonesia,
kekhawatiran polisi soal amuk suporter juga tak terjadi. Belum pernah
ada kerusuhan masal yang melibatkan Bonek. Bahkan, insiden gas air mata
di Gelora 10 Nopember yang mengakibatkan saat kematian Purwo, salah satu
Bonek, pada 2012 silam, tidak terjadi kerusuhan sebesar tahun 2006.
Situasi di sekitar stadion berjalan normal, dan warung-warung saat itu
tetap buka.
Bila acuannya adalah insiden Tol Simo medio Maret
2013 lalu, maka rasionalisasi pelarangan laga Persebaya dengan dihadiri
penonton justru tak tepat. Insiden yang mengakibatkan jalur tol
terblokir tujuh jam itu tak terkait dengan pertandingan Persebaya.
Bahkan, Persebaya tak berlaga saat itu. Insiden Tol Simo terjadi justru
karena kelalaian aparat kepolisian sendiri yang mengizinkan Aremania
melintasi jalur Surabaya dalam jumlah besar dan atraktif. Aparat polisi
tidak sensitif terhadap potensi kerawanan kala itu.
Jika
pelarangan laga sepak bola dihadiri penonton adalah standar antisipasi
potensi kerusuhan, kita semua masih ingat pada 2008 silam, hal itu tidak
diberlakukan untuk Arema Malang, setelah suporter klub itu terlibat
kerusuhan besar di Kediri. Saat itu, kerusuhan benar-benar terkait
dengan laga sepak bola Arema dan memorak-porandakan Stadion Brawijaya.
Namun, kita tahu, setelah itu tidak ada larangan bagi Arema menggelar
pertandingan dengan penonton.
Standar ganda ini sebenarnya yang
justru berpotensi membuat situasi tidak kondusif, sebagaimana
dikhawatirkan Tri. Standar ganda ini jika diteruskan akan memunculkan
ketidakpuasan dan antipati terhadap aparat kepolisian sendiri. Sebagai
kelompok yang sering dicap berangasan, Bonek justru memilih bersabar
memberikan kesempatan polisi bekerja dan tak melakukan langkah sendiri.
Ini tentu harus direspons dan diapresiasi polisi dengan kerja keras.
Dalam
hal pengusutan tuntas pembacokan terhadap Andi Peci, katakanlah,
Indonesia Police Watch (IPW) sudah menyerukan agar polisi bekerja
serius. Ada kekhawatiran, jika polisi tak juga berhasil membekuk
pelakunya, Bonek justru bertindak sendiri.
Begitu pula dalam hal
perizinan pertandingan. Aparat kepolisian memang memiliki kewenangan
untuk mengizinkan atau melarang. Namun, wewenang itu hendaknya digunakan
dengan standar yang jelas dan terang-benderang. Tanpa itu, wewenang
tersebut hanya akan dianggap sebagai bagian dari merepresi kelompok
tertentu dengan dalih suka dan tak suka. Dan, kita tahu, dalam sejarah
mana pun, setiap represi akan selalu memunculkan perlawanan, yang kadang
pada akhirnya tak pernah bisa ditangani.